Jumat, 06 Desember 2013

Makalah Tafsir Tarbawi



PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai wahyu terakhir dan merupakan mu’jizat terbesar yang diwahyukan Allah kepada rasul-Nya Muhammad SAW. pada hakekatnya memiliki relevansi dengan dinamika sosial-kemasyarakatan serta merupakan petunjuk bagi umat manusia “hudan linnas” (al-Baqarah : 185) yang setiap saat harus dibuka, dibaca dan dipahami arti atau maknanya, sehingga keberadaannya tidak saja menjadi benda sakral yang memiliki nilai “sakti” atau “petuah” yang mengandung daya penangkal bala, tetapi juga sebagai referensi kehidupan yang sangat berharga yang bermanfaat dalam berkomonikasi dengan Allah, alam, manusia dan bahkan dengan ego manusia itu sendiri untuk mencapai kualitas spiritual tertinggi, yakni taqwa kepada-Nya.
Dewasa ini, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta maraknya budaya modernisasi melingkupi kehidupan umat manusia telah menciptakan manusia-manusia satu dimensi yang kehilangan dimensi spiritualitasnya dan cenderung berorientasi pada kebendaan belaka.
Fenomina dan kecenderungan ini telah demikian luas mewarnai kehidupan manusia, sehingga peran agama sebagai pengendali sikap dan prilaku, maupun sebagai landasan moral, etika dan spiritual manusia menjadi semakin penting adanya.
Pengalaman membuktikan bahwa penguasaan, pengembangan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang tidak disertai oleh keluhuran akhlaq atau budi pekerti akan membawa manusia kepada penderitaan dan kesengsaraan, atau bahkan kehancuran. Oleh karena itu, penguasaan, pengembangan dan pendayagunaan iptek harus senantiasa berada dalam jalur nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan yang luhur.
Al-Qur’an sebagai sebuah konsep dan landasan konseptual Islam, sejak awal diturunkannya telah memerintahkan manusia untuk “membaca” ( إقراء  ), baik ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah, sebagai titik tolak munculnya peradaban manusia.

Tetapi jangan lupa “nama Tuhanmu” ( باسم ربك  ) yang merupakan kendali dari perkembangan membaca, karena pada dasarnya antara keduanya harus berjalan seimbang agar tercipta sesuatu yang padu, ilmu dan iman, akal dan hati serta jasmani dan rohani.
Kehilangan salah satunya berarti kepincangan pada diri manusia, seperti yang terjadi selama ini, akibat renaissance yang memunculkan paham-paham modernisme dan sekularisme, membuat ilmu pengetahuan tidak lagi seiring dengan agama, bahkan menganggap agama hanya menjadi penghalang laju perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini mengakibatkan ilmu pengetahuan kehilangan kontrol dan melahirkan manusia-manusia yang memiliki tendensi materialis, kapitalis, rasionalis, dan lainnya serta cenderung membatasi diri hanya pada hal-hal yang “nampak mata” dan mulai meragukan hal-hal yang ada diluar jangkauannya.
Dengan demikian manusia telah mengalami penyimpangan dari potensi fitrahnya, sehingga manusia membutuhkan pendidikan yang dapat mengantarkannya sejalan dengan tujuan penciptaannya. Itulah pendidikan al-Qur’an yang memberi masukan kepada anak didik berupa ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan alam fisika dan metafisika.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa al-Qur’an sejak awal diturunkannya telah memerintahkan manusia untuk “membaca”. Membaca disini tidak hanya berarti membaca teks al-Qur’an itu sendiri, tetapi menjangkau setiap sesuatu yang dapat dibaca, karenanya, dari ayat ini manusia dituntut untuk meneliti, mendalami serta berfikir yang selanjutnya akan menghasilkan ilmu pengetahuan baru untuk kepentingan manusia tersebut.
Kemudian sebagai pengontrol atau kendali dari ilmu pengetahuan yang diperoleh, manusia harus tetap melandasi pemahamannya “demi karena Allah”, sehingga ilmu apapun yang diperoleh harus memberi manfaat, baik bagi dirinya maupun manusia pada umumnya. Karena pada dasarnya pengetahuan dan peradaban yang dirancang oleh al-Qur’an adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu untuk memperolehnya.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapatlah dirumuskan beberapa masalah yang menarik untuk di kaji :
1.      Bagaimana sebab turunnya surat al-Alaq  1-5 ?
2.      Apa palsafah dasar Iqra’ ?
3.      Bagaimana proses pendidikan manusia menurut QS. Al-Alaq 1-5?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, disamping tujuan normative yaitu sebagai tanggungjawab penyusun yang harus digugurkan ataupun bertujuan untuk memberikan landasan teoritis bagi penyusun lain yang memiliki keterkaitan dengan judul makalah ini, secara subtansial, makalah ini memberikan informasi keilmuan menyangkut:
1.      Sebab turunnya QS. Al-Alaq 1-5
2.      Memahami falsafah dasar iqra’
3.      Memahami proses pendidikan berdasarkan QS. Al-Alaq 1-5
 
 PEMBAHASAN

            A.    Sebab Turunnya QS. Al-Alaq 1-5
Para Ulama mempunyai banyak pendapat dalam masalah ayat apa yang pertama kali diturunkan dan apa yang yang terakhir. Namun  pendapat yang paling shahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman dalam Surat-Al ‘Alaq ayat 1-5. Dasar pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dan lainnya dari Aisyah yang mengatakan :
Wahyu yang pertama kali dialami oleh Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang kembali ke Khadijah radiyallahu 'anha, maka Khadijah pun membekali beliau seperti bekal terdahulu. Lalu di gua Hira datanglah kepada beliau satu kebenaran, yaitu seorang malaikat, yang berkata kepada Nabi : “Bacalah!” Rasulullah menceritakan : “maka aku pun menjawab : Aku tidak bisa membaca”. Malaikat tersebut lalu memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi : “Bacalah!” maka akupun menjawab : “Aku tidak bisa membaca”. Lalu dia merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan berkata : “Bacalah!” Aku menjawab : “Aku tidak bisa membaca”. Maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan.. sampai dengan …apa yang tidak diketahuinya”.[1]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa  ayat Al-Quran yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad  adalah yang Al-Alaq ayat 1 sampai dengan ayat 5. Pewahyuan ini terjadi ketika Nabi Muhammad sedang berkhalwat di Gua Hira’.

       B.     Falsafah Dasar Iqra’
QS. Al-Alaq 1-5
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
Terjemahnya
1.      bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.      Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.      Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.      yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5.      Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[2]
Kata iqra’ terambil dari akar kata qara’a masdarnya qar’an, qira’atan, qur’anan artinya adalah membaca, menelaah, meneliti, menyampaikan, mendalami, danmengetahui ciri sesuatu.
Beraneka ragamnya arti dari kata ini yang kesemuanya dapat dikembalikan pada hakekat menghimpun, menyebabkan obyek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dibaca atau dijangkaunya, baik teks tertulis maupun yang tidak tertulis (alam ini).
Iqra’ (fi’il amar dari kata qara’a) yang dalam al-Qur’an terulang sebanyak tiga kali, masing-masing pada surat al-Isra; : 14 dan surat al-‘Alaq : 1 & 3, sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut, dalam berbagai bentuk ditemukan terulang sebanyak 17 kali selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak 70 kali, jika diamati obyek dari ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara’a ditemukan bahwa ia terkadang menyangkut suatu bacaan yang bersumber dari Tuhan al-Qur’an dan kitab suci sebelumnya- (lihat misalnya Qs. Al-Isra’ : 45 dan Yunus : 94) dan terkadang juga obyeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Tuhan (lihat Qs. Al-Isra’ : 14).
Dalam al-Qur’an juga ditemukan kata yang berakar dari kata tilawah berartimembaca, tetapi disini ditemukan perbedaan antara membaca yang berakar  dari kata qara’a dengan membaca yang menggunakan akar kata tilawah, dimana kata terakhir ini digunakan untuk bacaan-bacaan yang sifatnya suci dan pasti benar (lihat Qs. Al-Baqarah : 252 dan al-Maidah : 27).[3]
Dilain segi, dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan obyeknya, maka obyek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata qara’a digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, dan karena obyeknya tidak disebut sehingga bersifat umum, maka obyek kata tersebut mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau, baik bacaan yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik menyangkut ayat-ayat tertulis maupun tidak, sehingga mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat, diri sendiri, ayat suci al-Qur’an, majalah, koran, dan lain sebagainya.
Sedemikian luasnya obyek qara’a ini dapat pula mengalami penyempitan makna, apabila hanya dilihat dari dirangkaikannya kata tersebut dengan kata qalam, baik pada ayat keempat sura al-‘Alaq maupun ayat pertama surat al-Qalam. Namun, harus diingat bahwa sekian banyak pakar tafsir kontemporer memahami kataqalam, sebagai segala macam alat tulis-menulis sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih, dan juga harus diingat bahwa qalam bukan satu-satunya alat untuk membaca atau memperoleh ilmu pengetahuan.
Iqra’ (bacalah), begitulah perintah Alloah dalam surat al-‘Alaq ayat pertama yang dirangkaikan dengan bismi rabbika (dengan nama Tuhanmu), dapat diartikan bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan manusia harus pandai membaca. Membaca disini tidak hanya berkonotasi dengan “bahasa maupun simbol-simbol suara lainnya”, tetapi lebih dari itu, akibat luasnya jangkauan membaca tersebut.
Dengan demikian membaca adalah syarat utama guna memperoleh ilmu pengetahuan dan dari ilmu pengetahuan itulah manusia mencapai peradabannya. Sebagai kontrol dari perkembangan ilmu pengetahuan yang diperoleh, manusia harus melandasi pemahamannya hanya “karena Allah”, agar tercipta keseimbangan antara perkembangan pikiran dan spiritualnya.
Kemudian pada ayat ketiga, Allah juga memerintahkan manusia agar membaca(iqra’), tetapi perintah ini tidak dirangkaikan dengan bismi rabbika seperti pada ayat pertama melainkan dengan warabbukal-akram, ini berarti bahwa untuk menumbuhkan minat baca seseorang, ia harus sadar dan yakin bahwa dengan membaca ia akan memperoleh ilmu pengetahuan, karena “Tuhan Maha Pemurah” dan akan memberikan kita pemahaman sesulit apapun bacaan yang kita baca

C.      Konsep pendidikan berdasarkan QS. Al-Alaq 1-5
Dalam pembahasan ini, terlebih dahulu akan dibahas proses kejadian manusia sebagaimana tertuang dalam surat al-‘Alaq ayat kedua, khalaqal-insana min ‘alaq(Dia menciptakan manusia dari ‘alaq). Kata ‘alaq pada ayat ini mempunyai banyak arti, antara lain : segumpal darah, sejenis cacing, sesuatu yang berdempet dan bergantung, ketergantungan dan sebagainya.[4]
Sedangkan Sayyid Qutb mengartikan kata ‘alaq dengan segumpal darah atau setitik darah beku yang melekat pada dinding rahim, dari benih yang sangat kecil dan sederhana bentuknya.[5]
Dalam ayat lain, Allah juga menjelaskan tentang proses kejadian manusia, yaitu surat al-Mu’minun ayat 12-14, yang oleh M. Hasby Ash-Shiddieqy dalam tafsirnya “An-Nur” diterjemahkan demikian, “Dan sesungguhnya telah kami jadikan manusia dari tanah yang bersih, kemudian kami jadikannya air mani yang disimpan ditempat yang kukuh, kemudian kami jadikan air mani itu segumpal darah, lalu kami jadikannya sepotong daging; dari daging kami jadikan tulang, tulang itu kami bungkus dengan daging, dan kemudian kami menjadikannya makhluq yang baru (manusia sempurna), Maha Berbahagia Allah sepandai-pandai Yang menjadikan sesuatu[6].
 Memperhatikan ayat ini, jelaslah bahwa al-‘alaq menempati periode kedua dari proses kejadian manusia setelah nuthfah. Dan dapat disimpulkan bahwa proses kejadian manusia terdiri atas lima periode : (1) al-Nuthfah; (2) al-‘Alaq; (3) al-Mudhghah; (4) al-‘Idzam; dan (5) al-Lahm.
Al-Nuthfah, yang dalam bahasa al-Qur’an dijelaskan sebagai “setetes yang dapat membasahi”, atau dengan kata lain merupakan bagian kecil dari mani yang dituangkan kedalam rahim, pada dasarnya sejalan dengan penemuan ilmiah abad ke 20 ini yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia dan hanya satu yang berhasil bertemu dengan ovum. Itulah yang dimaksud al-Qur’an dengan :
نطفة من مني يمنى
(Nuthfah dari mani yang memancar)[7] –lihat Qs. An-Najm : 46
Dalam ayat ini (al-Mu’minun : 12-14), Allah tidak menggunakan kata “aku”melainkan “kami” dalam menyelesaikan penciptaannya. Ini menunjukkan bahwa dalam proses kejadian manusia juga terdapat campur tangan manusia didalamnya, yang selanjutnya sangat berpengaruh terhadap perkembangannya, terutama terhadap proses pendidikan manusia itu sendiri.
Proses pendidikan manusia dipengaruhi oleh dua faktor, keturunan dan lingkungan. Faktor keturunan diperoleh manusia sebagai hasil pewarisan dari orang tua maupun nenek moyang anak didik (melalui proses bertemunya sel sperma atau nuthfah dengan ovum), sedangkan Faktor lingkungan adalah hasil interaksi anak didik dengan alam sekitarnya.
Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa proses kejadian manusia juga memberi pengaruh terhadap proses perkembangan maupun pendidikan manusia tersebut.
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah menekankan pentingnya membaca dan tulis menulis dalam proses pendidikan manusia (al-‘Alaq : 3 dan 4) sebagai unsur dasar (walaupun bukan satu-satunya) untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Kedua unsur ini merupakan unsur penting dalam proses pendidikan (terutama pendidikan formal) yang dapat diharapkan melahirkan generasi-generasi muda berbakat dan mempunyai minat baca / belajar yang tinggi sebagai suatu bentuk pengabdiannya kepada Allah. Karena Allah Maha Pemurah tentunya Dia akan memberikan kita berupa pemahaman dan ilmu dari apa yang belum kita ketahui (al-‘Alaq : 5).
Disini kita dapat melihat adanya perbedaan antara perintah membaca  pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga. Dimana ayat yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenyuhi seseorang ketika membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang akan diperoleh dari bacaan tersebut.
Tuhan dalam ayat ketiga sampai kelima surat ini, menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca “demi karena Allah” (al-‘Alaq : 1), maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman dan wawasan-wawasan baru walaupun yang dibaca tetap itu-itu juga. Hal ini diketahui dengan adanya pengulangan perintah membaca dalam surat tersebut, bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan seseorang harus mengulang-ulang bacaannya.
Apa yang dijanjikan Allah disini sebenarnya telah terbukti secara jelas, baik dari membaca al-Qur’an yaitu dengan adanya penafsiran-penafsiran baru, maupun dari membaca alam ini, dengan bermunculannya penemuan-penemuan baru yang telah membuka rahasia-rahasia alam.
Demikianlah, perintah membaca (sebagai proses pendidikan manusia) merupakan perintah yang paling berharga yang diberikan Allah kepada umat manusia. Karena, membaca merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa “membaca” adalah syarat utama guan membangun peradaban. Dan bila diakui bahwa semakin luas pembacaan semakin tinggi pula peradaban, demikian pula sebaliknya.
Mansuia sebagai ’abdallah dan khalifah fil ardh memiliki potensi untuk memahami perintah ini, karena kekhalifahan yang diperankan manusia menuntut adanya pengenalan terhadap tempat dimana manusia itu berada. Dan pengenalan ini tidak akan dicapai tanpa usaha meupun proses membaca, menelaah, mengkaji dan sebagainya yang merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika perintah iqra’menjadi tuntunan pertama yang diberikan Allah SWT. kepada umat manusia.
Manusia dicipta oleh Allah (The Unity of God) sebagai makhluq dua dimensi; jasmani dan rohani. Keduanya memiliki substansi yang berbeda; jasmani atau dikenal dengan tubuh mempunyai sifat material. Ia berasal dari tanah dan akan kembali ketanah setelah manusia mati. Dilihat dari unsur ini, manusia adalah makhluq biologis yang cenderung mencari kebutuhan-kebutuhan biologisnya, dan inilah yang membedakan manusia dengan malaikat, tetapi tidak berbeda dari binatang. Sementara itu, rohani atau ruh bersifat immaterial. Ia berasal dari substansi imateri dialam ghaib dan akan kembali ke alam ghaib setelah manusia mati. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (Qs. Al-Sajdah : 7-9).
Rohani, seperti yang dikemukakan oleh al-Jurjani adalah manefestasi Zat Ilahiyah dari segi rububiyah. Tidak ada yang dapat mengetahui hakikatnya kecuali Allah SWT. Ia merupakan substansi yang berbeda dari tubuh, kadang-kadang ia lepas dari tubuh dan kadang-kadang masuk kedalam tubuh.[8] 
Ia berpadanan dengan kata jiwa (al-Nafs), akal (al-‘aql), dan hati (al-qalb, alfuad). Didalam roh terdapat dua daya; daya berpikir yang berpusat dikepala, disebut dengan akal, dan daya perasa yang berpusat didada disebut kalbu.[9]
Akal yang dalam kata Arab dikenal dengan al-‘aql, dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun uraian kamus tidak dijelaskan bahwa akal adalah daya fikir yang berpusat dikepala, al-‘aql malahan dikatakan sama dengan al-qalb yang berpusat didada, seperti firman Allah:
افلم يسيروا فى الارض فتكون لهم قلوب يعقلون بها أو ءاذان يسمعون بها فإنّها لاتعمى الابصر ولكن تعمى القلوب التى فى الصدور
“Apakah mereka tidak melakukan perjalanan dipermukaan bumi sedangkan mereka mempunyai hati untuk memahami atau telinga untuk mendengar; sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tetapi hati didalam dadalah yang buta”.(Qs. Al-Hajj : 46)
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa pemahaman maupun pemikiran tidak berpusat dikepala melalui al-‘aql melainkan berpusat didada melalui al-qalb, tetapi kemudian al-‘aql mengalami perubahan makna akibat masuknya pengaruh filsafat Yunani kedalam pemikiran Islam, kata al-‘aql dianalogikan sama dengan kata Yunani nous, yaitu daya fikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan demikian pemahaman maupun pemikiran tidak lagi melalui al-qalb didada tetapi melalui al-‘aql dikepala.
Dalam perkembangan selanjutnya, al-‘aql dan al-qalb ini sama-sama mendapatkan porsi perhatian yang seimbang dalam pendidikan Islam, seperti halnya unsur jasmani dan rohani yang membentuk manusia, dimana salah satunya tidak lebih diutamakan dari yang lainnya, karena antara keduanya sama-sama saling mempengaruhi.
Aspek akal dengan daya berfikirnya dalam pendidikan Islam dilatih untuk mempertajam penalaran. Hal ini dibuktikan dalam sejarah Islam; para filosof dan cendikiawan Islam mengembangkan dan mempertajam daya ini atas dorongan ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat mengenai kosmos, yang mengandung perintah agar orang banyak memikirkan dan meneliti alam sekitar. Hasil pemikiran mereka ternyata telah membuat peradaban Islam berkembang dengan baik antara abad ke-8 sampai abad ke-13 mesehi.
Sementara itu, daya perasa (al-qalb) dilatih dan diasah dengan baik untuk mempertajam hati nurani atau kata hati. Cara yang digunakan untuk tujuan ini ialah ibadah-ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan berbagai bentuk pensucian (tazkiyah) ruh lainnya.
Kata hati adalah kesadaran individu akan adanya suatu mahkamah didalam dirinya, yang didalamnya pikiran saling menuduh; dan ketika terjadi konflik kata hati, individu akan menjadi penuntut, terdakwa dan sekaligus hakimnya. Setiap orang mempunyai kata hati yang akan membuatnya selalu merasa diawasi, diancam dan diingatkan oleh hakim yang ada didalam dirinya bahwa ia harus menghormati kata hatinya, meskipun tenggelam dalam kejahatan dan ingin meninggalkan kata hatinya, orang tetap akan kembali mendengarkan kata hatinya itu.[10]
 Kata hati selalu menuntun manusia untuk berbuat baik. Oleh sebab itu, pendidikan Islam menghendaki agar kata hati selalu hidup dalam keadaan apapun, baik ketika individu dalam keadaan rahasia (merasa tidak ada orang yang mengawasi perbuatannya) maupun terang-terangan (ada orang yang mengawasi perbuatannya).
Dewasa ini, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil pengembangan daya fikir (al-aql) manusia, telah menyebabkan manusia melupakan kata hatinya. Manusia cenderung berambisi untuk mendapatkan kehidupan dunia secara utuh dan mengabaikan kehidupan akhiratnya, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan kurang memperhatikan aspek-aspek kemanusiaannya, dan bahkan menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri.
Memang, Islam sangat menganjurkan, mendorong dan memerintahkan manusia agar berfikir dan mempergunakan akalnya, sebagaimana tertuang dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kata-kata nazhara, tadabbara, tafakkara, faqiha, fahima, ‘aqala dan sebagainya, karena Islam memang diturunkan hanya untuk orang-orang yang berakal dan karena akalnyalah manusia bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya.
Tetapi perlu diingat bahwa dalam ayat pertama yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. “iqra’ bismirabbika”, Allah tidak menempatkan kalimat bismirabbika terpisah (dalam penempatan kalimatnya) dengan kata iqra’, tetapi bersamaan dalam satu ayat. Ini menunjukkan bahwa ketika manusia mempergunakan akalnya (iqra’) harus sesuai dengan kata hatinya, atau dengan kata lain, manusia harus meyakini bahwa apapun hasil yang diperoleh semata-mata “karena pertolongan Allah”. Sehingga manusia tidak menuhankan rasio/akalnya sendiri dan menganggap akalnyalah yang memperoleh kebenaran itu tanpa bantuan hati.
Dalam Islam, antara akal dan hati adalah satu kesatuan (sama-sama dari unsur rohani) dan merupakan sesuatu yang padu yang harus berjalan seimbang, tidak bolah ada yang lebih diutamakan. Kelemahan pada salah satunya akan mengakibatkan manusia menyimpang dari potensi fitrahnya dan tidak mampu menjalankan fungsinya, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah-Nya dimuka bumi. Karena akal tanpa hati akan menyesatkan manusia dan cenderung membuat kerusakan dibumi, begitu pula hati tanpa akal akan berputar-putar ditempatnya tanpa ada peningkatan sedikitpun dan cenderungtaken for granted terhadap perubahan yang terjadi.
Demikianlah pendidikan Islam menyeimbangkan keduanya, akal dan hati, jasmani dan rohani. Pendidikan Islam sesungguhnya menganut prinsip apa yang sekarang disebut sebagai “pendidikan manusia seutuhnya”. Dalam hal ini Muhammad Qutb mengemukakan bahwa Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat didalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya. Tidak ada sedikitpun diantara fitrah itu yang diabaikan; tidak pula  memaksakan apapun selain apa yang dijadikan sesuai dengan fitrahnya. Ia menganalisis fitrah manusia secara cermat, lalu menggesek seluruh senar hingga melahirkan nada yang selaras. Ia tidak menggesek senar-senar itu satu demi satu sehingga menimbulkan suara yang sumbang dan irama tidak harmonis yang tidak mengekspresikan gubahan paling mengesankan.
     
 PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan dan analisa yang penulis lakukan, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:
Studi analisa yang penulis lakukan terhadap surat al-‘Alaq ayat 1-5 dalam konteks pendidikan Islam, yaitu dengan upaya mencari konsep pendidikan yang ditawarkan oleh surat tersebut, dapat diungkap bahwa proses pendidikan manusia untuk mencapai peradabannya dimulai dari membaca dan menulis, yang dalam prosesnya juga melibatkan peran akan dan hati secara bersamaan

B.     Saran
Untuk menciptakan generasi insan kamil yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, maka proses pendidikan yang diterapkan haruslah memperhatikan aspek jasmani dan rohani, serta akal dan hati manusia, agar tercipta suatu individu yang utuh dan tidak menyimpang dari potensi fitrahnya.
Sedangkan untuk mengaktualisasikan potensi individu secara maksimal, diperlukan adanya optimalisasi peran pembawaan dan lingkungan, agar terbentuk suatu individu yang mendekati titik kesempurnaannya, karena memang mustahil akan betul-betul sempurna.

     DAFTAR PUSTAKA


Abu Maryam Abdusshomad, Ayat Al-Qur’an Yang Pertama Kali Turun, disarikan dari Mabahits Fii Ulumil Qur’an karya Syaikh Manna Al-Qathan diakses dari http://www.alsofwah.or.id/cetak quran.php?id=134 pada  tanggal 13 September 2013.
Departemen Agama “Al-qur’an dan Terjemahnya”, CV. Pustaka Agung Harapan, edisi Baru 2006,

M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal.5, lihat juga,  Membumikan al-Qur’an, Op. Cit, hal. 167-168, dan Lentera hati,(Bandung: Mizan, 1994),
Quraisy Shihab,  Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 168

Sayyid Qutb, Tafsir fi dzilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), jilid XII, hal. 305

 M. Quraisy Shihab, Mu’jizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997),
Al-Syarif Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), hal. 112-113, dikutip oleh Hery Noer Aly,

Harun Nasution, Konsep manusia menurut ajaran Islam, (Jakarta: Lembaga penerbitan IAIN Syarif Hidayatullah, 1981),

S. Takdir Alisyahbana, Antropologi Baru, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986),


 

[1]. Abu Maryam Abdusshomad, Ayat Al-Qur’an Yang Pertama Kali Turun, disarikan dari Mabahits Fii Ulumil Qur’an karya Syaikh Manna Al-Qathan diakses ari http://www.alsofwah.or.id/cetak quran.php?id=134 pada  tanggal 13 September 2013
[2].  Departemen Agama “Al-qur’an dan Terjemahnya”, CV. Pustaka Agung Harapan, edisi Baru 2006, hal. 904
[3]. M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal.5, lihat juga,  Membumikan al-Qur’an, Op. Cit, hal. 167-168, dan Lentera hati,(Bandung: Mizan, 1994), hal. 39-40
[4].  Quraisy Shihab,  Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 168
[5]. Sayyid Qutb, Tafsir fi dzilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), jilid XII, hal. 305

[6]  Ibid, hal. 58
[7]  M. Quraisy Shihab, Mu’jizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 168

[8] Al-Syarif Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), hal. 112-113, dikutip oleh Hery Noer Aly, Op. Cit, hal. 68

[9] Harun Nasution, Konsep manusia menurut ajaran Islam, (Jakarta: Lembaga penerbitan IAIN Syarif Hidayatullah, 1981), hal. 6

[10] S. Takdir Alisyahbana, Antropologi Baru, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hal. 29